Menikmati Kejatuhan
Bagaimana
rasanya pindah-pindah kerja di bidang yang berbeda? Ya, saya adalah orang yang
beruntung bisa merasakan hal itu. Setelah mencicipi bekerja sebagai jurnalis
yang merupakan cita-cita saya, pengalaman saya selanjutnya adalah bekerja di
toko onderdil mesin cetak, toko cat, hotel, dan restoran.
Di
sini saya mau berbagi pengalaman saya bekerja di hotel dan restoran. Pekerjaan
yang menurut saya "bukan saya banget" tp harus saya jalani demi orang
tua.
Hari
pertama masuk hotel, saya yang dibawa oleh juragan yang memang kenalan saya
datang mengenakan celana jeans, kemeja, dan sepatu sneakers. Saya pikir, bos
saya akan mengajak saya liputan. Ternyata, saya langsung ditempatkan di hotel
miliknya. Saya pun disarankan untuk mengenakan celana bahan hitam dan kemeja
putih.
Esoknya
saya datang dengan pakaian tersebut. Tapi, seorang rekan kerja memperingatkan
saya untuk mengenakan rok bukan celana.
Dia
bertanya apakah saya tidak punya rok ketika training sebelumnya. Langsung saja
saya jawab bahwa saya tidak pernah training dengan pakaian seperti itu. Ketika
pertama kali bekerja, saya mengenakan celana jeans dan kaos.
Rekan
kerja yang lebih muda lima tahun dari saya itu terlihat tidak suka dengan
bantahan saya. Baru beberapa hari saya bekerja sifatnya yang sok tahu, sok
ngatur, dan senior mulai terlihat. Tapi sepertinya dia tidak lelah mengingatkan
saya mengenakan rok hitam yang membuat saya akhirnya mengalah.
Hari-hari
selanjutnya pekerjaan saya di hotel justru menyisakan tekanan batin bagi saya.
Bagaimana tidak? Saya tidak suka pekerjaannya, tidak suka dengan seragam yang
saya kenakan, ditambah sikap rekan kerja yang tidak menyenangkan. Saya sering
dicuekin, kalau saya tanya tidak dijawab, tip tidak dibagi, dan hal-hal lain
yang tidak mrnyenangkan.
Senioritas
yang tinggi, sikap egois yang berlebihan, dan iri antarkaryawan sangat terlihat
di hotel itu. Rebutan membersihkan kamar tamu demi tip selembar uang berwarna
hijau menjadi kegiatan sehari-hari. Saya sendiri sering menjadi alat
teman-teman saya untuk mencari tambahan uang namun saya tidak mendapat bagian.
Tekanan
batin dan hal-hal yang tidak sesuai idealisme membuat saya ingin hengkang.
Tapi, untuk hengkang saja saya harus bertengkar dengan ibu yang menginginkan
saya tetap bekerja. Saya sudah menjelaskan bahwa saya bisa mencari uang dengan
menulis. Tapi tetap saja tidak diijinkan.
Melihat
saya tidak ada kemajuan selama enam bulan bekerja, maka sang juragan
memindahkan saya di restoran yang dikelolanya. Apakah saya senang? Tentu tidak.
Saya tahu betapa berat bekerja di restoran selama 10 jam sehari nyaris tanpa
duduk. Kalaupun duduk pasti sambil mengerjakan pekerjaan lain seperti
merangkaui dus makanan, dan lain-lain.
Hari
pertama bekerja, saya membersihkan meja makan dan peralatan dapur, mengupas
bawang merah dan bawang putih, merapikan peralatan makan,dan menata meja tamu.
Saya pun harus menahan lapar bukan karena sibuk, tetapi karena memang tidak
lauk untuk karyawan karena saat itu bulan Ramadhan. Saya sendiri tidak
menjalankan ibadah puasa.
Untunglah
rasa lapar saya terobati ketika seorang rekan menawarkan makanan sisa tamu.
Rasa lapar yang teramat sangat membuat saya dengan lahap menikmati makanan
tersebut. Bagi saya, enak saja makan makanan restoran secara gratis meskipun
saya sendiri sanggup membelinya.
Ketika
saya menceritakan hal tersebut kepada seorang sahabat, dia berkata, kok seperti
a*u karena menyantap makanan sisa. Tapi, kejadian ini memang bukan hanya
terjadi pada saya, tetapi juga di restoran dan hotel berbintang lain.
Sahabat
saya yang pernah bekerja di restoran pun mengatakan hal yang sama. Dia bilang,
masih lebih baik a*u yang makanan makanan baru, sedangkan manusia makan makanan
sisa. Berebut makanan sisa tamu adalah hal wajar yang terjadi bagi pekerja
restoran.
Hari
selanjutnya, saya membantu sang juragan yang akan membagi nasi kotak karena dia
baru membeli rumah baru. Saya melakukan hal-hal yang tidak mampu saya lakukan
seperti membersihkan daun pisang, menyobek daun, dan menata daun. Pekerjaan
tersebut membuat saya dibanjiri omelan karena saya memang tidak sanggup
melakukannya.
Hari-hari
selanjutnya, adalah hari yang melelahkan karena saya harus bekerja terus. Saat
itu, saya berpikir bahwa libur adalah hal yang sangat berharga dan tidak ingin
saya sia-siakan hanya untuk tidur. Uang bukanlah segalanya karena uang tidak
mampu memberi waktu luang bagi saya untuk menikmati hobi saya, seperti jogging,
traveling, dan menulis.
Begitulah
kehidupan pekerja restoran. Dengan jam kerja berlebih, sementara gaji yang
tidak banyak dan seringkali makan makanan sisa tamu.
Lalu
mengapa saya masih ingin bertahan bekerja seperti itu? Tentu saja, demi orang
tua yang ingin saya tetap bekerja apapun asalkan saya mendapat uang. Walaupun passion saya sebenarnya adalah
menulis, termasuk menulis tulisan ini.
Namun,
ada beberapa pelajaran yang hidup yang dapatkan dari pengalaman saya itu.
Pertama,
mengutip kata- kata Spongebob Squarepants, kita hebat dalam satu hal, tetapi
tidak dalam segala hal. Begitulah saya. Saya mungkin sudah jago dalam menulis,
tetapi ketika harus membersihkan dan menyobek daun saya bukan apa-apa. Jadi
buat apa sombong kalau saya tidak hebat dalam segala hal.
Kedua,
mengutip kata-kata sahabat saya. Orang yang paling bahagia adalah orang yang
pernah menikmati makanan sisa. Artinya, orang tersebut pernah menikmati masa
jatuh. Dia percaya bahwa bagaimanapun caranya seseorang pasti akan jatuh.
Hal
itu juga pernah terjadi berkali-kali dalam hidup saya. Sejak kecil ayah saya
sakit-sakitan sehingga saya tidak bisa menikmati kebahagiaan seperti anak-anak
lain. Begitu juga ketika dua kali saya menganggru setelah resign dan diputus
kontrak oleh perusahaan. Saya pun pernah bekerja dengan gaji minim namun dengan
tekanan tinggi yang membuat saya sakit-sakitan. Bukan hanya gaji yang ludes
untuk berobat, saya pun harus menguras tabungan saya.
Jadi,
kalau saya jatuh lagi, saya bukan harus takut dan khawatir, tetapi saya harus
siap dan mencari solusi saat jatuh.
Ketiga,
dibalik kejatuhan itu, pasti ada hal-hal yang harus saya syukuri. Kalau tidak
jatuh, saya tidak tahu bagaimana harus kuat dan bangkit. Yang pasti kejatuhan
membuat saya lebih menghargai orang-orang yang berbeda kondisi dengan saya.
Keempat,
tetap percaya bahwa ada Tuhan yang selalu menjaga kita semua. Bukankah Dia
sudah berjanji tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan umat-Nya?
Sekian
tulisan saya. Terima kasih kepada sahabat-sahabatku yang sudah mau berbagi.
GBU.
Komentar
Posting Komentar