Kualitas Perempuan Bukanlah Seperti Label Konstruksi Sosial

Kapan nikah? Anaknya udah berapa? Cuma mau punya anak satu? Kok gak bisa masak? Ngiris bawang bukan begitu caranya. 
Para perempuan, pernahkah kamu mendengar pertanyaan dan celotehan seperti di atas? Saya sering. Pertanyaan kapan nikah selalu menghampiri saya, apalagi ketika saya sudah memiliki gandengan. Setiap saya datang ke reuni, kondangan, atau hanya bertemu di jalan mereka selalu mempertanyakan hal itu. Seolah-olah tidak ada pertanyaan basa basi lain selain kapan nikah.
Lama menjalin kasih dan tak juga menikah, teman-teman kembali memberi pertanyaan yang sama. Kata mereka, jangan lama-lama  menunggu nikah karena usia saya yang sudah tua dan nati akan sulit punya anak. Ada lagi yang berkomentar nanti jadi maksiat. Saya jadi berpikir, apakah hubungan yang tak kunjung diresmikan selalu berujung maksiat?
Berbeda halnya saat saya masih single. Saudara dan teman-teman  berebut memperkenalkan saya dengan para pria. Kata mereka, sudah saatnya saya memikirkan pernikahan, jangan sibuk bekerja terus. Mereka bilang, apakah saya mau sendiri terus sampai tua? Siapa nanti yang merawat?
Lain cerita ketika saya berkunjung ke rumah teman yang sudah menikah dan memiliki anak. Dia bercerita bahwa kehidupannya saat ini sudah tidak sama seperti ketika dia masih single.  Saat ini, bersenang-senang bukan lagi prioritasnya karena ada suami dan anak yang diutamakan.
Dia kemudian bercerita, ada temannya yang sudah berusia kepala tiga namun masih sibuk bekerja di NGO dan belum memikirkan pernikahan. Kata teman saya, walaupun punya kesibukan, hidup temannya itu biasa-biasa saja karena tidak memiliki keluarga.
Ternyata, label seorang wanita bukan hanya dari laku tidaknya wanita itu. Wanita pun dituntut untuk bisa melakukan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, memasak yang enak, merawat anak, hingga melayani suaminya
Seorang wanita yang memasak dengan rasa kurang pas atau mengiris bawang terlalu tebal sering dianggap bukan wanita yang sempurna. Apalagi, di mata orang-orang tua yang masih memandang bahwa wanita harus bisa multitasking ketika berada di dapur. Sambil mengiris bawang dia juga harus bisa merebus air dan membuang sampah sayuran pada tempatnya.
Ketika wanita tidak bisa multitasking di dapur, dia akan dicap lelet, padahal dia hanya belum terbiasa. Wanita yang tidak bisa menggendong anak dianggap tidak bisa menjadi ibu yang baik. Tak jarang, wanita yang tidak bisa melakukan tugas wanita seperti tuntutan sosial sering mendapat omelan suami, mertua, bahkan ibunya sendiri.
Begitu pula ketika seorang wanita memutuskan untuk menjadi wanita karier, sementara anak ditipkan orang tua, baby sister atau day care, wanita itu mendapat cap bukan ibu yang baik karena tega meninggalkan anaknya demi egonya. Ketika seorang wanita sukses, para pria merasa terancam dengan kesusesan pasangannya sehingga meminta pasangannya untuk berhenti berkarier.
Saat ini, semakin banyak wanita yang menuntut keseteraan. Semakin banyak juga wanita yang sudah bisa mengambil alih tugas pria bahkan sebagi pencari nafkah. Tetapi mengapa wanita masih harus hidup sesuai dengan label  masa lalu. Mengapa wanita yang memilih melajang harus mendapat label perawan tua yang menyebalkan? Mengapa wanita yang memilih berkarier ketimbang mengurus anak diberi label tidak sayang anak? Mengapa wanita yang berkarier tinggi diberi label mengalahkan suami?
Setiap perempuan tentunya punya pilihan berbeda dalam hidupnya. Ada yang ingin menjadi ibu rumah tangga yang bisa multitasking, ada pula yang ingin punya karier tinggi. Ada perempuan yang memilih menjadi ibu bagi banyak anak, ada pula yang memilih hanya menjadi seorang istri tanpa menjadi ibu. 
Begitu pula dengan kemampuan seorang perempuan. Ada yang mampu multitasking, ada pula yang hanya mampu melakukan satu hal dalam satu waktu. Ada perempuan yang bisa bergerak cepat, ada pula yang melakukan pekerjaannya dengan lamban namun berusaha menyelesaikan. Ada perempuan yang tanggap, ada pula yang mudah panik ketika berada di luar kontrol
Sudah bukan saatnya lagi kita menilai seorang perempuan hanya dari label konstruksi sosial bahwa perempuan harus bisa begini dan tidak boleh begitu. Setiap perempuan adalah manusia yang memiliki keunikan, dan memiliki mimpi dalam hidupnya. Mereka tetaplah perempuan yang ingin dihargai dan dilihat sebagaimana mereka adanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senam Bebas Sakit Punggung

Cerita Bertemu Jodoh

Alvin Aribowo Lee