Harapan terhadap Media Cetak

Akhir-akhir ada hal yang cukup merisaukan buat saya yaitu kabar bahwa media cetak akan mati seiring perpindahan ke media digital. Bagaimana saya tidak risau? Selama ini saya hidup di media cetak.
Sebelum saya kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi pun saya sudah akrab dengan media cetak. Saat  kecil saya biasa membaca Majalah Bobo. Kemudian saat SMP, saya tidak hidup dengan majalah remaja karena saya lebih suka membaca tabloid hiburan seperti Tabloid Bintang dan Tabloid Citra. Maklum, saya penggemar serial Mandarin dan dari kedua tabloid itulah saya bisa memperoleh informasi tentang selebritis Mandarin.
Kegemaran saya membaca membuat saya ingin jadi wartawan. Bayangan saat itu menjadi wartawan itu menyenangkan karena bisa ketemu aktor dan artis, terutama bisa liputan ke luar negeri. Maka, saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi saat kuliah.
Beruntung, lulus kuliah walaupun tidak dengan IPK tinggi dan program studi saya yang saat itu masih berstatus dalam proses akreditasi tidak membuat saya kesulitan memperoleh pekerjaan. Saya langsung diterima di sebuah perusahaan media cetak nasional yang berlokasi di Surabaya. Selanjutnya, saya pindah ke anak perusahaan media itu di Yogyakarta. Kemudian, saya pindah ke media ekonomi di Jakarta. Wah kutu loncat banget ya...
Selanjutnya saya ingin bekerja kantoran, jadi saya bekerja di toko yang menjual peralatan mesin cetak milik saudara saya di Solo. Tetapi namanya passion pasti akan kembali lagi. Gegara sering membaca majalah Femina dan Majalah Kartini, saya mulai menulis untuk rubrik Gado-gado Femina dan Rubrik Setetes Embun di Majalah Kartini. Sayangnya, banyak yang ditolak. Tapi tentu nggak putus asa donk.
Saya benar-benar tidak betah bekerja di sana. Maka saya memutuskan untuk keluar dan meneruskan passion saya di bidang penulisan. Tapi, berhubung Simbok menyarankan saya bekerja, maka saya bekerja di toko cat milik temannya Simbok. Tapi pekerjaan disana berat banget, kalau libur potong gaji.
Saya kemudian resign. Namanya rejeki selalu ada saja. Saya ditawari bekerja sebagai front office di sebuah hotel milik teman Simbok. Tapi, berhubung rekan kerjanya rese, saya dipindah di restaurant. Berat bangeeettt booo. Ya sudah saya resign lagi
Pertemuan saya dengan Nyonyo menghatarkan saya siaran radio. Sambil tetap menulis.  Seperti yang diketahui gaji penyiar radio gak banyak. Maka, saya berharap menulis bisa menutupi kekurangan penghasilan. Akhirnya, setelah melalui penolakan berkali-kali, ada tiga tulisan saya yang dimuat di Majalah Kartini dan tetap menulis di majalah rohani.
 Tapi beberapa waktu ini saya dengar banyak media cetak bertumbangan. Sediihhh..
Saya jadi mikir untuk menulis di media digital. Sayangnya,  media digital tidak memberikan honor. Kalaupun ada honor, dihitung dari jumlah viewers. Tapi herannya, media digital menggembar-gemborkan kalo jadi penulis bakal kaya. Gimana bisa kaya, wong tulisaanya aja gak dibayar.
Mungkin juga karena butuh kecepatan dan selalu harus update, artikelnya pun cenderung sama. Menurut saya yang pernah menjadi wartawan, banyak tulisan di situs-situs itu yang berantakan dan logikanya meloncat-loncat. Saya pernah asal liat judul, beritanya mau saya share waktu siaran. Artikel itu saya ambil dari situs wanita yang masih baru. Haduh payah deh, saya pusing ketika harus membaca saat siaran.
Mungkin penulisnya kebanyakan blogger dan memang gaya menulis blog berbeda dengan penulisan jurnalistik pada umumnya. Bagaimanapun juga blogger bukan wartawan.Untuk menjadi seorang wartawan butuh pendidikan dan kesabaran untuk menghasilkan tulisan jurnalistik yang baik.
Saya berharap, media cetak tidak salah manajemen yang berujung kebangkrutan. Ada baiknya pengusaha media cetak melihat siapa saja pasarnya. Kalau penjualan di Jakarta menurun , distribusi bisa dialihkan ke daerah. Mungkin pembaca di Jakarta menurun karena waktu yang terbatas untuk membaca media cetak, apalagi mereka harus berhadapan dengan kemacetan. Sedangkan masyarakat daerah lebih banyak waktu luang dan lebih banyak waktu untuk membaca.
Bagaimanapun juga membaca media cetak masih lebih nikmat daripada membaca artikel secara online. Ada banyak artikel menarik di media cetak yang tidak bisa ditemukan di media online. Selain itu,penulisan di media cetak lebih mendalam dibanding media online. Semoga media cetak tetap bisa bertahan bahkan bisa bangkit dari kematiannya. Asalkan media cetak berani memberikan sesuatu yang berkualitas untuk pembacanya.
Semoga juga para wartawan media cetak tetap dimudahkan rejekinya ditengah surutnya bisnis media cetak. Semoga juga saya masih bisa menulis dan mendapat penghasilan dari menulis apapun medianya. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senam Bebas Sakit Punggung

Cerita Bertemu Jodoh

Alvin Aribowo Lee