Buat Suami yang Melarang Istrinya Bekerja dan Istri yang Berniat jadi Ibu Rumah Tangga Saja, Baca Ini
Berhubung terlalu banyak yang dipikirkan sampe-sampe saya lupa mengisi blog ini. Singkat cerita saya sudah balikan dengan Nyonyo. Lalu apakah hubungan kami membaik?
Awalnya iya, tetapi beberapa hari ini kembali terjadi perdebatan untuk masalah yang sama yaitu karier. Sebelum tahun baru saya dan Nyonyo sepakat bahwa Nyonyo tetap bekerja menjadi pengacara tapi di hanya di Jawa Tengah aja. Awalnya dia menolak, pengen juga sidang di luar Pulau Jawa. Tapi dengan tegas saya katakan bahwa saya sudah mengalah tidak menjadi wartawan. dengan menjadi wartawan saya punya kesempatan bisa bepergian bahkan hingga ke luar negeri.
Nyonyo setuju asalkan saya mau hidup sederhana.
tapi, kemaren-kemaren saya merasa tidak percaya dengan yang Nyonyo katakan dan terjadilah perdebatan. Saya terus mempertahankan cita-cita saya untuk tetap bekerja setelah menikah. Tapi Nyonyo tidak terima, malah mengatakan bahwa saya kok maunya keluyuran terus. Saya akhirnya bilang bahwa saya tidak mau punya anak. Eh, dia bales, apa gunanya perempuan kalo gak mau punya anak?
Pasti banyak yang tidak setuju dengan pernyataan saya itu. Tapi cobalah melihat dari sudut pandang saya bahwa tidak mudah untuk melepaskan karier yang dibangun dengan penuh perjuangan jauh sebelum saya mengenal Nyonyo. Tidak mudah juga melepas karier demi anak apalagi karena permintaan suami.
Tapi, buat laki-laki patriarki seperti Nyonyo, pasti akan meminta istrinya untuk fokus merawat anak. Dia tidak peduli seberapa beratnya saya melepas karier, dia pengennya saya di rumah. Kalaupun mau bekerja juga dari rumah. Walaupun Nyonyo mau mengalah tidak jadi pengacara di luar Pulau Jawa.
Saya jadi berpikir apa tujuan pernikahan itu? Apakah sekedar biar gak jadi bujang/ perawan tua? apakah biar ada yang menjaga kalau tua nanti?
Seberapa berat sih seorang laki-laki mengijinkan istrinya bekerja, bahkan membantu keuangan rumah tangga? Apakah gengsi yang membuat suami melarang istrinya bekerja?
Nyonyo juga bilang karena saya tidak punya tanggung jawab nafkah, jadi sebaiknya saya tidak bekerja. Kalaupun mau bekerja dari rumah, uangnya disimpan saja. Karena dia punya tanggung jawab nafkah, maka dia punya kesempatan untuk punya karier yang bagus, relasi yang luas, bisa bepergian kemana-mana.
Lalu, kalau dia sudah gak eksis, misalnya sakit atau dipecat dari pekerjaannya, bukankah istrinya yang memegang penuh tanggung jawab? Contohnya, ketika ayah saya sudah sakit--sakitan, ibulah yang membantu ayah dalam hal keuangan. Saat itu ayah saya bekerja sebagai distributor kue kering. Setelah ayah sakit, ibu yang menagih, sambil tetap mengurus suami dan anak-anak. Sementara, ayah menjadi tidak berguna tetapi juga tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga kecuali menyeterika. jujur saja, hasil seterikaan ayah lebih rapi dibanding Ibu.
Begitu juga di keluarga Nyonyo dimana ayahnya yang sibuk berjudi jadi tidak peduli lagi pada keluarganya. Dia makan enak, istri dan anak-anaknya cuma makan seadanya.Akhirnya, ibunya Nyonyo yangt bekerja keras berjualan jenang demi biaya sekolah kedua anaknya.
Lain cerita si Cemeng, teman cewek saya. Mereka masih pengantin baru dan suaminya bolak-balik berhenti kerja. Cemeng sudah mendorong suaminya untuk mencari pekerjaan, tetapi setiap didorong malah suaminya ngomel-ngomel. Akhinya, Cemeng yang sudah berhenti kerja kantoran atas permintaan calon suaminya kala itulah yang bekerja keras membuat desain kartu undangan, custom angpao, dll. Padahal dulu suaminya bilang, Cemeng cukup jadi Nyonyah aja gak usah kerja.
sementara teman lama saya sebut aja Lady yakult bilang kalau saya jangan mau kalau tidak boleh berkerja. Semakin hari biaya kebutuhan semakin tinggi. Bahkan ketika saya cerita bahwa Nyonyo melarang saya bekerja dia bilang, pukul kepalanya kalau sampe Nyonyo melarang saya bekerja karena ujung-ujungnya dia pasti meminta saya untuk bekerja.
Wanita-wanita yang bersedia melepas pekerjaan demi suami menurut saya adalah wanita yang masa kecilnya bahagia. Ayahnya mampu mencukupi kebutuhannya dan dia mencari suami yang seperti ayahnya. Coba kalau wanita yang masa kecilnya keinginannya bahkan kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik pasti akan memilih bekerja setelah menikah. Ini di luar konteks budaya dan agama lho....
Awalnya iya, tetapi beberapa hari ini kembali terjadi perdebatan untuk masalah yang sama yaitu karier. Sebelum tahun baru saya dan Nyonyo sepakat bahwa Nyonyo tetap bekerja menjadi pengacara tapi di hanya di Jawa Tengah aja. Awalnya dia menolak, pengen juga sidang di luar Pulau Jawa. Tapi dengan tegas saya katakan bahwa saya sudah mengalah tidak menjadi wartawan. dengan menjadi wartawan saya punya kesempatan bisa bepergian bahkan hingga ke luar negeri.
Nyonyo setuju asalkan saya mau hidup sederhana.
tapi, kemaren-kemaren saya merasa tidak percaya dengan yang Nyonyo katakan dan terjadilah perdebatan. Saya terus mempertahankan cita-cita saya untuk tetap bekerja setelah menikah. Tapi Nyonyo tidak terima, malah mengatakan bahwa saya kok maunya keluyuran terus. Saya akhirnya bilang bahwa saya tidak mau punya anak. Eh, dia bales, apa gunanya perempuan kalo gak mau punya anak?
Pasti banyak yang tidak setuju dengan pernyataan saya itu. Tapi cobalah melihat dari sudut pandang saya bahwa tidak mudah untuk melepaskan karier yang dibangun dengan penuh perjuangan jauh sebelum saya mengenal Nyonyo. Tidak mudah juga melepas karier demi anak apalagi karena permintaan suami.
Tapi, buat laki-laki patriarki seperti Nyonyo, pasti akan meminta istrinya untuk fokus merawat anak. Dia tidak peduli seberapa beratnya saya melepas karier, dia pengennya saya di rumah. Kalaupun mau bekerja juga dari rumah. Walaupun Nyonyo mau mengalah tidak jadi pengacara di luar Pulau Jawa.
Saya jadi berpikir apa tujuan pernikahan itu? Apakah sekedar biar gak jadi bujang/ perawan tua? apakah biar ada yang menjaga kalau tua nanti?
Seberapa berat sih seorang laki-laki mengijinkan istrinya bekerja, bahkan membantu keuangan rumah tangga? Apakah gengsi yang membuat suami melarang istrinya bekerja?
Nyonyo juga bilang karena saya tidak punya tanggung jawab nafkah, jadi sebaiknya saya tidak bekerja. Kalaupun mau bekerja dari rumah, uangnya disimpan saja. Karena dia punya tanggung jawab nafkah, maka dia punya kesempatan untuk punya karier yang bagus, relasi yang luas, bisa bepergian kemana-mana.
Lalu, kalau dia sudah gak eksis, misalnya sakit atau dipecat dari pekerjaannya, bukankah istrinya yang memegang penuh tanggung jawab? Contohnya, ketika ayah saya sudah sakit--sakitan, ibulah yang membantu ayah dalam hal keuangan. Saat itu ayah saya bekerja sebagai distributor kue kering. Setelah ayah sakit, ibu yang menagih, sambil tetap mengurus suami dan anak-anak. Sementara, ayah menjadi tidak berguna tetapi juga tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga kecuali menyeterika. jujur saja, hasil seterikaan ayah lebih rapi dibanding Ibu.
Begitu juga di keluarga Nyonyo dimana ayahnya yang sibuk berjudi jadi tidak peduli lagi pada keluarganya. Dia makan enak, istri dan anak-anaknya cuma makan seadanya.Akhirnya, ibunya Nyonyo yangt bekerja keras berjualan jenang demi biaya sekolah kedua anaknya.
Lain cerita si Cemeng, teman cewek saya. Mereka masih pengantin baru dan suaminya bolak-balik berhenti kerja. Cemeng sudah mendorong suaminya untuk mencari pekerjaan, tetapi setiap didorong malah suaminya ngomel-ngomel. Akhinya, Cemeng yang sudah berhenti kerja kantoran atas permintaan calon suaminya kala itulah yang bekerja keras membuat desain kartu undangan, custom angpao, dll. Padahal dulu suaminya bilang, Cemeng cukup jadi Nyonyah aja gak usah kerja.
sementara teman lama saya sebut aja Lady yakult bilang kalau saya jangan mau kalau tidak boleh berkerja. Semakin hari biaya kebutuhan semakin tinggi. Bahkan ketika saya cerita bahwa Nyonyo melarang saya bekerja dia bilang, pukul kepalanya kalau sampe Nyonyo melarang saya bekerja karena ujung-ujungnya dia pasti meminta saya untuk bekerja.
Wanita-wanita yang bersedia melepas pekerjaan demi suami menurut saya adalah wanita yang masa kecilnya bahagia. Ayahnya mampu mencukupi kebutuhannya dan dia mencari suami yang seperti ayahnya. Coba kalau wanita yang masa kecilnya keinginannya bahkan kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik pasti akan memilih bekerja setelah menikah. Ini di luar konteks budaya dan agama lho....
Komentar
Posting Komentar