Haruskah Mengorbankan Karier Demi Keluarga?




Dari judulnya saja, tulisan ini merupakan tulisan mengenai kegalauan saya. Sudah hampir tiga tahun ini, saya galau berat. Pasalnya, calon suami minta saya untuk meninggalkan karier kewartawanan yang sudah saya bangun demi bisa merawat anak kelak kalau kami sudah menikah.
Bagi saya meninggalkan karier bukan hal yang mudah. Walaupun saat ini saya berstatus wartawan freelance, saya berharap suatu saat saya bisa bekerja kembali di perusahaan media, syukur-syukur kalau jadi redaktur. Bagaimanapun juga saya sudah membangun karier dengan susah payah, jatuh bangun dari jadi wartawan, resign dan diberhentikan sampai bisa bangkit lagi semua sudah saya lakoni. Kebayang kan perjuangan saya…
Itu cerita saya. Sementara, si Nyonyo, calonku itu juga pernah saya minta untuk meninggalkan karier kepengacaraanya. Tapi dia belum jadi pengacara kok. Sambil kerja sebagai staff pengacara, Nyonyo juga kuliah ektensi Hukum. Rencananya, setelah lulus mau ikutan PKPA terus jadi pengacara.
Jujur, saya gak siap dengan karier di bidang hukum. Resikonya besar. Mungkin saya cemen, oke deh saya ngaku kalo cemen, tapi kalo memang gak siap gimana donk. Saya juga mau sering ditinggal-tinggal. Kalo dia minta saya di rumah aja ntar saya jadi kuper donk, lha kariernya dia malah berkembang.
Tapi, dia malah ngomel, katanya ingin memberi penghidupan yang layak buat keluarga. Kalo dia minta saya melepas karier kenapa dia gak mau. Karier bukan Cuma masalah duit,tapi juga pencapaian, kepercayaan diri, eksistensi, kesempatan, de el el. Bener gak.
Sebelum saya benar-benar melepas karier, saya  merenungi hidup saya beberapa tahun ini. Setelah lepas dari media-media besar dan hidup sebagai anak rantau, saya menemani Simbok di rumah. Adik saya punya karier yang bagus, sebagai perawat di sebuat rumah sakit di Kudus. Dari segi eksistensi, kesempatan, relasi, duit, dia lebih banyak.
Sedangkan saya, bekerja sebagai wartawan freelance di beberapa majalah rohani, sambil jadi penyiar radio di radio komunitas, sambil jadi AE, sambil coba-coba nulis menembus media besar. Dengan segudang profesi itu, penghasilan saya kadang di luar ekspektasi. Bener, di samping saya yang kadang malas, narsum yang susah dihubungi, dan tidak semua mau pasang iklan. Apalagi radio komunitas tanpa iklan itu sering mengalami masalah sampe kami harus off hingga berbulan-bulan. Otomatis, kami gak dapat penghasilan.
Saya sering berkeinginan merantau lagi. Tapi tentunya Simbok gak boleh di rumah sendirian, silahkan mau ikut saya atau adik. Eh, simbok gak mau, katanya silahkan kalo saya mau merantau. Padahal simbok sering sakit.
Akhirnya, saya putuskan untuk tetap menemani Simbok dan bekerja freelance. Pasti ada yang tanya, kenapa saya tidak kerja di kota saya aja? Baiklah, di kota kecil, gaji tidak seberapa, belum lagi saya pernah dibully ketika bekerja di hotel. Itulah alasan saya tidak bekerja ikut orang lagi.
Saya jadi ingat cerita di pengacara kondang di kota saya, bosnya Nyonyo. Dia sudah terpilih sebagai hakim tipikor, tetapi karenya istrinya keberatan, akhirnya dia meninggalkan karier besarnya itu. Begitu juga saya, demi simbok saya tinggalkan kesempatan besar di luar kota.
Lalu, bagaimana ketika saya menikah, apakah mau meninggalkan karier? Saya bersedia, asalkan Nyonyo juga bersedia meninggalkan kariernya itu. Kalau dia gak mau? Saya percaya suatu saat nanti aka nada masa dimana kami melepas keegoisan demi keutuhan keluarga.
Jadi, pantaskah meninggalkan karier demi keluarga? Menurut saya oke, asalkan siap kompromi dengan segala hal dari kedua belah pihak. Jadi bicarakan baik-baik ya..
Tapi, yang namanya ilmu harus tetap belajar. Bukan berarti karena meninggalkan karier terus jadi tumpul. Bisa sambil belajar bahasa asing, memperdalam hobi yang menghasilkan, ikut komunitas. Asalkan, pasangan atau keluarga mengijinkan, jadi kembali lagi ke kompromi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senam Bebas Sakit Punggung

Cerita Bertemu Jodoh

Alvin Aribowo Lee