Berapapun Usia Kita, Apapun Status Kita, Kita Berhak Memilih


Berapapun usia kita, apapun status kita, kita berhak memilih. Begitu menurut saya. Seringkali, pilihan hidup saya itu  mendapat tentangan terutama dari orang-orang yang sangat saya cintai. Walaupun harus melalui proses perdebatan dan penerimaan, saya percaya bahwa saya bisa menjalani pilihan hidup saya.
Sejak  masih kecil, kita sudah diajarkan untuk memilih. Misalnya, ketika Ibu hendak membelikan baju untuk saya. Saya diajak serta supaya saya bisa memilih pakaian yang sesuai dengan selera saya. Ibu berpikir, kalau saya yang memilih pasti saya mau mengenakan pakaian itu.
Kadang-kadang, selera berpakaian saya berbeda dengan Ibu. Beberapa kali Ibu tidak setuju dengan baju yang pilih. Karena menurut Ibu bagus, Ibu memaksakan pilihannya untuk saya. Mau tidak mau saya menurut. Saya pun terpaksa mengenakan pakaian itu kalau tidak mau terkena omelan Ibu.
Itu baru contoh pilihan sederhana. Semakin bertambahnya usia kita, semakin banyak pilihan kita yang bertentangan dengan banyak orang. Seperti ketika saya harus menentukan penjurusan menjelang kelas 3 SMA. Saya yang merasa kurang mampu dalam pelajaran eksak, memilih jurusan IPS. Sayangnya, orang tua dan Tante yang membantu biaya sekolah saya tidak setuju dengan pilihan itu. Menurut mereka, sebaiknya saya memilih jurusan IPA karena peluang memilih jurusan kuliah lebih banyak.
Perdebatan terjadi antara saya, orang tua dan Tante. Sekalipun mereka terus mendesak saya untuk memilih jurusan IPA, saya kekeuh memilih jurusan IPS. Ternyata, saya tidak salah memilih jurusan IPS karena saya bisa mendapat ranking kelas. Berbeda dengan kelas 1 dan 2 dimana saya tidak pernah masuk 10 besar.
Lulus SMA saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena saya bercita-cita menjadi wartawan. Orang tua dan tante tidak setuju karena mereka tidak tahu nantinya saya akan bekerja sebagai apa. Mereka menyarankan saya masuk di fakultas ekonomi. Lagi-lagi saya harus berdebat meskipun akhirnya mereka mengalah.
Mungkin pilihan saya ini sesuai dengan kehendak Tuhan atas hidup saya. Saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika kuliah di jurusan itu. Oya, jurusan yang saya pilih ini adalah jurusan yang baru dibuka dengan ijin BAN PT alias belum terakreditasi. Hal itu juga yang menjadi alasan supaya saya tidak masuk di jurusan ini.
Banyak rintangan yang saya alami selama kuliah. Karena saya dibantu Tante yang tidak menikah, beliau sering mengultimatum saya untuk tidak pacaran, harus fokus kuliah, dan tidak boros. Tetapi, jiwa pemberontak mendorong saya tetap pacaran dan melakukan hal-hal lain layaknya anak muda namun tetap terkontrol. Saya pernah diancam putus kuliah namun saya bersyukur bisa melanjutkan kuliah hingga selesai.
Lulus kuliah, saya ingin bekerja di kota besar karena saya berasal dari kota kecil. Lagi-lagi Tante menentang. Saya boleh bekerja di luar kota tapi di Jawa Tengah saja, yang dekat dengan kota asal supaya saya bisa menjaga orang tua. Begitu juga dengan Ayah yang menginginkan saya bekerja di kota asal demi menjaga orang tua.
Lagi-lagi saya harus berdebat dengan keluarga. Atas ijin Ibu, Ayah mengalah dan saya berhasil diterima bekerja di surat kabar ternama di Jawa Timur.  Kembali  passion yang berbicara. Saya sangat bahagia dengan pekerjaan impian itu. Walaupun saya harus naik turun angkot, kepanasan, dan tidak mengerti bahasa daerah, semua saya jalani dengan senang.
Hingga tiba waktunya saya harus resign dan bekerja di media di Jogja. Saya bersyukur tidak banyak tentagan dari keluarga karena pilihan saya. Walaupun gaji lebih kecil, tetapi orang tua percaya bahwa saya pasti tercukupi.
Tentangan datang ketika saya ingin bekarier di Jakarta. Lagi-lagi alasan jarak yang jauh dan kondisi orang tua yang menua membuat mereka tidak ingin saya jauh dari mereka. Perdebatan kembali terjadi. Mereka kembali mengalah dan mengijinkan saya bekerja di ibukota.
Pembaca mungkin berpikir, mengapa saya sering menentang orang tua? Jujur, saya pernah merasa berdosa ketika menentang mereka. Tapi saya percaya bahwa pilihan saya adalah yang terbaik buat hidup saya.
Lanjut lagi. Saya tidak lama bekerja di Jakarta. Karena tidak mampu memenuhi target, perusahaan memutus kontrak. Saya cukup lama menganggur. Saya pun melamar sebagai pekerja kantoran, tidak lagi ingin bekerja sebagai wartawan.
Tawaran datang dari saudara yang memiliki toko. Saya pun bekerja di toko itu. Namun karena bukan passion saya sering merasa jenuh. Kondisi itu juga berakibat menurunnya kondisi tubuh sehingga saya memutuskan kembali ke kota asal saya.
Saya kemudian bekerja di toko di kota asal. Tetapi, bekerja di toko terlalu berat karena saya harus angkat-angkat barang dan tidak bisa libur. Saya ingin resign tapi lagi-lagi orang tua menentang. Saya tetap pada keputusan saya. Saat itu, saya juga sambil memanfaatkan kemampuan dengan menjadi penulis lepas di beberapa majalah, namun hasilnya belum terlihat.
Tak lama saya mendapat tawaran kerja di hotel milik teman Ibu. Saya juga masih melanjutkan sambilan sebagai penulis lepas. Sayangnya saya sering bentrok dengan teman-teman sehingga saya dimusuh dan oleh pemilik hotel saya dipindahkan di rumah makan.
Bekerja di rumah makan bukanlah hal yang mudah. Saya tidak menulis dan saya merasakan kelelahan yang luar biasa. Lagi-lagi saya harus berdebat dengan orang tua karena saya ingin keluar.
Kini, saya menjalani kehidupan sebagai penulis lepas di beberapa media dan menjadi penyiar di sebuah radio komunitas. Ayah sudah meninggal dan Ibu tidak lagi menentang pilihan saya ini. Menjadi pekerja lepas membuat saya memiliki banyak waktu untuk menemani Ibu. Mungkin ini jugalah yang membuat Ibu tidak lagi menentang pilihan saya.
Ke depan, saya memilih menjadi ibu dengan satu anak sehingga saya bisa melaksanakan visi, misi, dan tujuan hidup untuk menjadi manusia yang berguna bukan hanya bagi keluarga tetapi juga bagi masyarakat. Cita-cita saya ini mendapat tentangan dari kekasih yang menginginkan saya menjadi ibu dua anak dan diam di rumah.
Selama 31 tahun perjalanan hidup, banyak sekali pilihan saya yang mendapat tentangan terutama dari orang-orang terdekat. Saya beruntung, saya memiliki jiwa yang pantang menyerah untuk meraih mimpi-mimpi saya. Seperti Ibu yang akhirnya menghargai pilihan saya, saya percaya suatu saat kekasih yang akan menjadi suami akan menghargai pilihan saya.

Semakin bertambahnya usia, pilihan hidup kita tidak lagi sesederhana memilih baju. Seiring bertambahnya usia, status kita bukan lagi anak tapi memiliki status lain yang sesuai pilihan kita seperti menjadi , istri, karyawan, bos, atau orang tua. Tapi yang pasti usia ataupun status tidak meruntuhkan hak kita untuk memilih. Kita bisa memilih untuk menjadi optimis atau pesimis, memilih berhasil atau gagal, dan memilih untuk menjadi baik atau menjadi buruk. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senam Bebas Sakit Punggung

Cerita Bertemu Jodoh

Alvin Aribowo Lee